Pendahuluan
Indonesia merupakan negara sebagai paru-paru dunia, karena wilayah Indonesia yang banyak memiliki pulau dan masih terdapat hutan yang cukup terjaga. Tetapi, eksploitasi hutan dan konversi lahan dalam skala massal saat ini telah berimbas kepada kerusakan lingkungan yang sangat parah. Kerusakan lingkungan yang menyebabkan perubahan iklim dunia, pemanasan global, bencana alam banjir, longsor, kekeringan yang datang silih berganti adalah fenomena turunan yang harus dirasakan umat manusia.
Berbagai usaha untuk memperbaiki lingkungan selalu terganjal oleh tuntutan ekonomi yang dirasa jauh lebih penting, karena menyangkut pemenuhan kebutuhan sandang, pangan dan papan. Ketidakmampuan pemerintah dalam menciptakan stabilitas ekonomi yang diiringi makin meroketnya harga-harga kebutuhan pokok masyarakat, adalah kenyataan pahit lainnya yang harus dihadapi dalam usaha pelestarian alam dan lingkungan.
Oleh karena itu, perlu adanya keseriusan untuk memperbaiki kerusakan lingkungan, agar kelestarian lingkungan dapat tercapai. Solusi yang ditawarkanpun harus dapat bersifat win-win solution, sehingga mampu mengakomodir antara kepentingan pemenuhan kebutuhan ekonomi dan konservasi sumberdaya alam dan lingkungan yang sama-sama krusialnya sehingga konsep “Hutan Lestari dan Masyarakat Sejahtera” dapat terwujud dalam arti yang sebenarnya. Salah satu solusi yang saat ini menjadi fokus pembicaraan adalah pola agroforestry (Agung Pambudi,2008) .
Agroforestry merupakan suatu sistem yang mengkombinasikan antara komponen hutan dengan komponen pertanian. Sehingga akan dihasilkan suatu bentuk pelestarian alam yang dapat memberikan nilai ekonomi bagi pelakunya serta jaga dapat digunakan untuk pelestarian alam. Agroforestry merupakan ilmu baru dengan teknik lama, maksudnya bahwa sebenarnya agroforestry sudah diaplikasikan oleh masyarakat pada jaman dahulu dan sekarang tehnik ini digunakan kembali, karena dirasa sangat bermanfaat bagi alam dan masyarakat sekarang.
Agroforestri telah banyak menarik perhatian peneliti-peneliti teknis dan sosial yang mempelajari pentingnya pengetahuan dasar pengkombinasian antara pepohonan dengan tanaman tidak berkayu pada lahan yang sama, serta segala keuntungan dan kendalanya. Penyebaran ilmu agroforestry diharapkan dapat bermanfaat dalam mencegah perluasan tanah terdegradasi, melestarikan sumber daya hutan, meningkatkan mutu pertanian, serta meningkatkan kesejahteraan petani.
Isi
Manusia merupakan subjek utama dalam perkembangan jaman. Dibidang pertanian, manusia memiliki fungsi yang sangat komplek. Selain manusia dianggap sebagai perusak lingkungan, manusia juga berperang dalam perkembangan pertanian. Karena, manusia memiliki sifat untuk selalu mencari sesuatu yang lebih dalam hidupnya. Sifat inilah yang selalu mendorong manusia untuk berfikir dan berusaha mencari ataupun merubah sesuatu hal untuk mendapatkan hasil sesuai yang diinginkannya, meskipun terkadang tidak memperhatikan bahkan tidak memperdulikan dampak lingkungan yang akan terjadi. Pada areal hutan misalnya, terjadi perubahan yang signifikan, yaitu perubahan dari areal hutan yang tidak produktif menjadi areal hutan yang produktif, areal yang dapat memberikan hasil produksi maupun nilai ekonomi.
Perubahan fungsi hutan tersebut sudah terjadi sejak dahulu, yaitu dengan cara pembabatan hutan untuk dijadikan lahan pertanian secara total atau dengan cara pengkombinasikan komponen hutan dengan pertanian yang saat ini dikenal dengan istilah agroforestry. Definisi agroforestri sendiri sangat banyak, karena setiap ahli memiliki definisi sendiri-sendiri yang berbeda satu dengan yang lainnya. Salah satu definisi agroforestry yang dikemukakan oleh Lundgren dan Raintree (1982) yaitu :
Agroforestri adalah istilah kolektif untuk sistem-sistem dan teknologi-teknologi penggunaan lahan, yang secara terencana dilaksanakan pada satu unit lahan dengan mengkombinasikan tumbuhan berkayu (pohon, perdu, palem, bambu dll.)
dengan tanaman pertanian dan/atau hewan (ternak) dan/atau ikan, yang dilakukan pada waktu yang bersamaan atau bergiliran sehingga terbentuk interaksi ekologis dan ekonomis antar berbagai komponen yang ada.
Sistem agroforestry ini berkembang melalui beberapa tahap, yaitu :
a) Fase Agroforestry Klasik
Pada jaman dahulu, untuk mencukupi kebutuhan hidupnya manusia melakukan perburuan (hunting) dan mengumpulkan makanan (food gathering), sehingga kehidupannya selalu berpindah-pindah (nomaden). Tetapi pada suatu saat pola hidup tersebut berubah ke cara bercocok tanam dan berternak (plant and animals domestication). Sebagai bagian dari cara ini, mereka melakukan penebangan pohon, pembersihan dan pembakaran seresah dan kemudian melakukan budidaya tanaman pangan pada areal bekas hutan tersebut. Dari sinilah awal lahirnya sistem agroforestry.
b) Pra-agroforestry Modern
Pada akhir abad XIX, pembangunan hutan tanaman (pepohonan sengaja ditanam - man-made forest) menjadi tujuan utama. Agroforestri dipraktekkan sebagai sistem pengelolaan lahan. Pada tahun 1800-an mulai ditanam tanaman jati dengan diselingi tanaman pangan semusim, penanaman ini menggunakan sistem “Taungya”. Kelebihan dari sistem ini, yaitu tidak hanya menghasilkan bahan pangan, tetapi juga dapat mengurangi biaya pembangunan dan pengelolaan hutan tanaman. Di Indonesia sistem ini dikenal dengan nama tumpangsari. Sistem taungya inilah yang menurut para ahli merupakan scikal bakal agroforestry modern.
Dalam perkembangan sistem taungya selama lebih dari seratus tahun sejak diperkenalkan (periode 1856 hinga pertengahan 1970-an), hanya sedikit atau bahkan sama sekali tidak ada perhatian terhadap komponen pertanian, petani ataupun produk-produknya. Pada saat itu sistem taungya memang dirancang dan dilakukan melulu untuk kehutanan saja. Tidak heran bila waktu itu ada yang berpendapat, bahwa di beberapa bagian dunia, masyarakat setempat telah dieksploitasi untuk kepentingan kehutanan. Kesuksesan sistem taungya dikatakan karena adanya masyarakat yang ‘lapar tanah’ (akibat dari keterbatasan penguasaan lahan dibandingkan dengan jumlah penduduk yang sangat tinggi), pengangguran dan kemiskinan (King, 1987). Dengan kata lain, keikutsertaan masyarakat dalam sistem taungya pada waktu itu lebih banyak disebabkan keadaan atau keterpaksaan, bukan keuntungan yang dapat diperolehnya.
Agroforestry modern hanya melihat kombinasi antara tanaman keras atau pohon komersial dengan tanaman sela terpilih. Dalam agroforestry modern, tidak terdapat lagi keragaman kombinasi yang tinggi dari pohon yang bermanfaat atau juga satwa liar yang menjadi bagian terpadu dari sistem tradisional. Sedangkan agroforestry klasik atau tradisional sifatnya lebih polikultur dan lebih besar manfaatnya bagi masyarakat setempat dibandingkan agroforestry modern (Thaman, 1988).
Pada waktu itu jarang sekali disinggung oleh para ahli tentang aspek positif konservasi tanah dari pelaksanan sistem taungya. Tujuan taungya hanyalah pembangunan hutan (dengan pemikiran bahwa keberadaan hutan dapat melindungi produktivitas tanah) dan mengeluarkan petani secepatnya dari hutan. Sedangkan problema pengaruh manusia terhadap erosi tanah tidak pernah terlintas dalam pemikiran rimbawan pada waktu itu (King, 1987). Pada waktu itu, ada empat pertimbangan dalam kaitannya dengan hal tersebut:
1. Hutan negara dianggap tidak bisa diganggu gugat.
2. Ancaman/gangguan terhadap kawasan hutan sebagian besar dianggap berasal dari para petani, khususnya melalui praktek perladangan berpindah.
3. Ada anggapan bahwa lebih menguntungkan mengganti hutan-hutan alam yang terlantar atau yang kurang menghasilkan dengan hutan tanaman.
4. Pembangunan hutan tanaman merupakan niaga yang mahal, khususnya karena masa pemeliharaan yang lama.
Oleh karena itu, filosofi yang ada pada waktu itu adalah pembangunan hutan tanaman dengan memanfaatkan tenaga kerja dari para tuna karya dan tuna lahan yang ada. Sebagai imbalan, mereka diperkenankan memanfaatkan lahan-lahan di sela-sela anakan tanaman kehutanan untuk bercocok tanam atau aktivitas pertanian. Penjabaran selanjutnya dari sistem taungya tentu saja berbeda di masing-masing negara atau dari satu daerah ke daerah lainnva. Akan tetapi apa yang diuraikan di atas adalah gambaran umum dan merupakan asal mula konsep sistem taungya.
c) Agroforestry modern
Sejak awal tahun 70-an ada pendapat yang menyatakan pentingnya peran pepohonan dalam mengatasi berbagai problema petani kecil dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, khususnya kebutuhan bahan pangan. Tujuan peningkatan produksi pangan melalui program "Revolusi Hijau" yang dilaksanakan pada waktu itu memang dapat dicapai. Akan tetapi sebagian besar petani tidak punya cukup modal untuk dapat berpartisipasi dalam program tersebut, karena besarnya biaya untuk irigasi, pemupukan, pestisida dan bahkan untuk penyediaan lahannya sendiri. Selain itu status kepemilikan lahan sebagian petani masih belum pasti.
Dilain pihak, permasalahan mengenai berkurangnya areal hutan akibat bertambahnya jumlah penduduk menyebabkan Bank Dunia (world bank) menggalakkan program perhutanan-sosial (sosial forestry), yang dalam pelaksanaannya dirancang khusus untuk peningkatan produksi pangan dan konservasi lingkungan tanpa mengabaikan kepentingan pihak kehutanan untuk tetap dapat memproduksi dan memanfaatkan kayu.
Dari agroforestry modern ini, mulai berkembanglah beberapa hal mengenai agroforestry, baik pada lembaga penelitian, pola pemikirang, sampai konsep-konsep mengenai sistem agroforestry ini. Dalam aplikasinya, sistem agroforestry memiliki sasaran dan tujuan.
1. Sasaran dan Tujuan Agroforestry
Sebagaimana pemanfaatan lahan lainnya, agroforestry dikembangkan untuk memberi manfaat kepada manusia atau meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Agroforestry diharapkan dapat memecahkan berbagai masalah pengembangan pedesaan dan seringkali sifatnya mendesak. Agroforestry utamanya diharapkan dapat membantu mengoptimalkan hasil suatu bentuk penggunaan lahan secara berkelanjutan guna menjamin dan memperbaiki kebutuhan hidup masyarakat. Sistem berkelanjutan ini dicirikan antara lain oleh tidak adanya penurunan produksi tanaman dari waktu ke waktu dan tidak adanya pencemaran lingkungan. Kondisi tersebut merupakan refleksi dari adanya konservasi sumber daya alam yang optimal oleh sistem penggunaan lahan yang diadopsi.
Dalam mewujudkan sasaran ini, agroforestry diharapkan lebih banyak memanfaatkan tenaga ataupun sumber daya sendiri (internal) dibandingkan sumber-sumber dari luar. Di samping itu agroforestry diharapkan dapat meningkatkan daya dukung ekologi manusia, khususnya di daerah pedesaan. Untuk daerah tropis, beberapa masalah (ekonomi dan ekologi) berikut menjadi mandat agroforestri dalam pemecahannya (von Maydell, 1986):
a. Menjamin dan memperbaiki kebutuhan bahan pangan:
- Meningkatkan persediaan pangan baik tahunan atau tiap-tiap musim; perbaikan kualitas nutrisi, pemasaran, dan proses-proses dalam agroindustri.
- Diversifikasi produk dan pengurangan risiko gagal panen.
- Keterjaminan bahan pangan secara berkesinambungan.
b. Memperbaiki penyediaan energi lokal, khususnya produksi kayu bakar:
Suplai yang lebih baik untuk memasak dan pemanasan rumah (catatan: yang terakhir ini terutama di daerah pegunungan atau berhawa dingin)
c. Meningkatkan, memperbaiki secara kualitatif dan diversifikasi produksi bahan mentah kehutanan maupun pertanian:
- Pemanfaatan berbagai jenis pohon dan perdu, khususnya untuk produk-produk yang dapat menggantikan ketergantungan dari luar (misal: zat pewarna, serat, obat-obatan, zat perekat, dll.) atau yang mungkin dijual untuk memperoleh pendapatan tunai.
- Diversifikasi produk.
d. Memperbaiki kualitas hidup daerah pedesaan, khususnya pada daerah dengan persyaratan hidup yang sulit di mana masyarakat miskin banyak dijumpai:
- Mengusahakan peningkatan pendapatan, ketersediaan pekerjaan yang menarik.
- Mempertahankan orang-orang muda di pedesaan, struktur keluarga yang tradisional, pemukiman, pengaturan pemilikan lahan.
- Memelihara nilai-nilai budaya.
e. Memelihara dan bila mungkin memperbaiki kemampuan produksi dan jasa lingkungan setempat:
- Mencegah terjadinya erosi tanah, degradasi lingkungan.
- Perlindungan keanekaragaman hayati.
- Perbaikan tanah melalui fungsi ‘pompa’ pohon dan perdu, mulsa dan perdu.
- Shelterbelt, pohon pelindung (shade trees), windbrake, pagar hidup (life fence).
- Pengelolaan sumber air secara lebih baik.
Tujuan tersebut diharapkan dapat dicapai dengan cara mengoptimalkan interaksi positif antara berbagai komponen penyusunnya (pohon, produksi tanaman pertanian, ternak/hewan) atau interaksi antara komponen-komponen tersebut dengan lingkungannya.
Dalam kaitan ini ada beberapa keunggulan agroforestri dibandingkan sistem penggunaan lahan lainnya, yaitu dalam hal:
A. Produktivitas (Productivity)
Dari hasil penelitian dibuktikan bahwa produk total sistem campuran dalam agroforestry jauh lebih tinggi dibandingkan pada monokultur. Hal tersebut disebabkan bukan saja keluaran (output) dari satu bidang lahan yang beragam, akan tetapi juga dapat merata sepanjang tahun. Adanya tanaman campuran memberikan keuntungan, karena kegagalan satu komponen/jenis tanaman akan dapat ditutup oleh keberhasilan komponen/jenis tanaman lainnya.
B. Diversitas (Diversity)
Adanya pengkombinasian dua komponen atau lebih daripada sistem agroforestry menghasilkan diversitas yang tinggi, baik menyangkut produk maupun jasa. Dengan demikian, dari segi ekonomi dapat mengurangi risiko kerugian akibat fluktuasi harga pasar. Sedangkan dari segi ekologi dapat menghindarkan kegagalan fatal pemanen sebagaimana dapat terjadi pada budidaya tunggal (monokultur).
C. Kemandirian (Self-regulation)
Diversifikasi yang tinggi dalam agroforestry diharapkan mampu memenuhi kebutuhan pokok masyarakat, dan petani kecil dan sekaligus melepaskannya dari ketergantungan terhadap produk-produk luar. Kemandirian sistem untuk berfungsi akan lebih baik dalam arti tidak memerlukan banyak input dari luar (a.l. pupuk, pestisida), dengan diversitas yang lebih tinggi daripada sistem monokultur
D. Stabilitas (Stability)
Praktek agroforestri yang memiliki diversitas dan produktivitas yang optimal mampu memberikan hasil yang seimbang sepanjang pengusahaan lahan, sehingga dapat menjamin stabilitas (dan kesinambungan) pendapatan petani.
2. Jenis Agroforestry
Agroforestry secara sederhana yaitu menanam pepohonan di areal pertanian. Agroforestry sendiri dapat dibagi menjadi 2, yaitu agroforestry sederhana dan agroforestry kompleks.
a) Agroforestry sederhana
Sistem agroforestry sederhana adalah suatu sistem pertanian di mana pepohonan ditanam secara tumpangsari dengan satu atau lebih jenis tanaman semusim. Pepohonan bisa ditanam sebagai pagar mengelilingi petak lahan tanaman pangan, secara acak dalam petak lahan, atau dengan pola lain misalnya berbaris dalam larikan sehingga membentuk lorong/pagar.
b) Agroforestry kompleks
Sistem agroforestry kompleks, adalah suatu sistem pertanian menetap yang melibatkan banyak jenis pepohonan (berbasis pohon) baik sengaja ditanam maupun yang tumbuh secara alami pada sebidang lahan dan dikelola petani mengikuti pola tanam dan ekosistem yang menyerupai hutan. Di dalam sistem ini, selain terdapat beraneka jenis pohon, juga tanaman perdu, tanaman memanjat (liana), tanaman musiman dan rerumputan dalam jumlah banyak.
Penciri utama dari sistem agroforestry kompleks ini adalah kenampakan fisik dan dinamika di dalamnya yang mirip dengan ekosistem hutan alam baik hutan primer maupun hutan sekunder, oleh karena itu sistem ini dapat pula disebut sebagai agroforest (ICRAF, 1996).
Penutup
Agroforestry merupakan suatu sistem dengan menggabungkan beberapa komponen hutan dengan komponen pertanian, sehingga sistem ini dapat berperan untuk memperbaiki kondisi lingkungan secara global maupun spesifik serta dapat meningkatkan kesejahteraan pelaku/ petani agroforestry.
Sistem agroforestry muncul dari beberapa tahapan, yaitu fase agroforestry klasik, pra-agroforestry modern, dan agroforestry modern. Sehingga, bisa dikatakan agroforestry merupakan ilmu baru dengan tehnik lama.
Pada dasarnya sistem agroforestry dikembangkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat serrta untuk melestarikan lingkungan. Oleh karena itu, pengembangan agroforestry diharapkan dapat memecahkan beberapa masalah sosial dan lingkungan.
Sistem agroforestry ini terbagi menjadi 2, yaitu agroforestry sederhana dan agroforestry kompleks.
DAFTAR PUSTAKA
Hairiah K., Mustofa Agung Sardjono, Sambas Sabarnurdin. Pengantar Agroforestry. http://www.worldagroforestry.org/SEA/Publications/files/lecturenote /LN0001-04.PDF. diakses pada tanggal10 september 2008.
Pambudi,Agung.2008.Agroforestry. http://www.bpdas-jeneberang.net/index.php? option=com_content&task=view&id=30&Itemid=51.diakses pada tanggal 10 september 2008.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar