Jumat, 26 Desember 2008

Agroforestry Solusi Peningkatan Biodiversiti

A. Pendahuluan

Hutan merupakan habitat berbagai jenis organisme, dari organisme tingkat rendah hingga organisme tingkat tinggi yang hidup bersama-sama dan saling ketergantungan. Dalam ekosistem hutan, terdapat organisasi kehidupan dalam skala luas. Oleh karena itu, pelestarian hutan sama halnya dengan pelestarian kehidupan makhluk hidup.

Menurut Marsono (1991), Aktivitas biologis tanah lebih bertumpu pada lapisan tanah atas (top soil). Aktivitas biologis tersebut sekitar 80% terdapat pada top soil saja. Kenyataan-kenyataan tersebut menunjukkan bahwa hutan tropika basah merupakan ekosistem yang rapuh (fragile ecosystem), karena setiap komponen tidak bisa berdiri sendiri. Disamping itu dijumpai pula fenomena lain yaitu adanya ragam yang tinggi antar lokasi atau kelompok hutan baik vegetasinya maupun tempat tumbuhnya.

Kerusakan hutan merupakan salah satu masalah yang sekarang ini sering melanda Indonesia. Indonesia sebagai salah satu negara kepulauan memiliki banyak hutan, tetapi sekarang ini kerusakan hutan Indonesia sangat tinggi. Pengalihan fungsi hutan merupakan salah satu kerusakan yang terjadi di Indonesia, hutan diubah menjadi lahan pertanian, perumahan, pertokoan, industri, dan sebagainya. Berbagai pengalihan fungsi hutan tersebut menyebabkan kerusakan ekosistem hutan yang telah lama terbentuk. Pengalihan fungsi hutan tersebut menyebabkan berbagai bencana alam, seperti erosi, tanah longsor, banjir, kekeringan dan bahkan perubahan lingkungan global. Selain itu, banyak masalah seperti penurunan kesuburan tanah, tingkat biodiversitas lahan menurun, serta kepunahan flora dan fauna. Masalah ini bertambah berat dari waktu ke waktu sejalan dengan meningkatnya pengalihan fungsi hutan yang diubah menjadi lahan usaha lain.

Kerusakan hutan ini mendorong manusia untuk mencari solusi dari permasalahan ini. Oleh karena itu, munculah suatu sistem pertanian yang disebut Agroforestry. Agroforestry ini merupakan suatu sistem pertanian dengan mengkombinasikan beberapa komponen tanaman hutan dengan tanaman pertanian, dimana sistem ini bertujuan untuk memperbaiki kondisi lahan, pelestarian lingkungan, serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Menurut Asmadi Sa’ad (2002), agroforestry memiliki dua fungsi utama, yaitu fungsi produksi dan fungsi konservasi. Fungsi produksi yaitu dengan adanya agroforestry dapat meningkatkan produksi pangan, pakan, bahan ternak, bahan produksi, dan ekonomi masyarakat. Sedangkan fungsi konservasi yaitu agroforestry dapat memperbaiki dan melindungi tanah.

B. Isi

Salah satu akibat dari pengalihan fungsi hutan yaitu munculnya lahan kritis. Sehingga, hal ini menjadi masalah mendasar yang dihadapi yaitu bagaimana mengubah lahan kritis tersebut menjadi produktif kembali dan bagaimana menghambat agar lahan kritis tidak semakin meluas. Penanganan masalah lahan kritis secara parsial yang telah ditempuh selama ini ternyata tidak mampu mengatasi masalah yang kompleks ini. Oleh karena itu strategi penanganan lahan kritis perlu diubah melalui pendekatan holistik dengan fokus sumberdaya berbasiskan masyarakat. Dalam hal ini, upaya peningkatan produktivitas lahan kritis hanya akan dapat berhasil apabila masyarakat dilibatkan sebagai aktor utama serta mereka memperoleh peningkatan kesejahteraan dari kegiatan rehabilitasi lahan tersebut. Diantara kegiatan rehabilitasi berdasarkan pendekatan ini adalah agroforestry.

Menurut De Foresta dan Michon (1997), agroforestri dapat dikelompokkan menjadi dua sistem, yaitu sistem agroforestri sederhana dan sistem agroforestri kompleks. Sistem agroforestri sederhana adalah suatu sistem pertanian dimana pepohonan ditanam secara tumpang-sari dengan satu atau lebih jenis tanaman semusim. Pepohonan bisa ditanam sebagai pagar mengelilingi petak lahan tanaman pangan, secara acak dalam petak lahan, atau dengan pola lain misalnya berbaris dalam larikan sehingga membentuk lorong/pagar. Jenis-jenis pohon yang ditanam juga sangat beragam, bisa yang bernilai ekonomi tinggi misalnya kelapa, karet, cengkeh, kopi, kakao (coklat), nangka, melinjo, petai, jati dan mahoni atau yang bernilai ekonomi rendah seperti dadap, lamtoro dan kaliandra. Jenis tanaman semusim biasanya berkisar pada tanaman pangan yaitu padi (gogo), jagung, kedelai, kacang-kacangan, ubi kayu, sayur-sayuran dan rerumputan atau jenis-jenis tanaman lainnya. Sistem agroforestri kompleks, adalah suatu sistem pertanian menetap yang melibatkan banyak jenis tanaman pohon (berbasis pohon) baik sengaja ditanam maupun yang tumbuh secara alami pada sebidang lahan dan dikelola petani mengikuti pola tanam dan ekosistem menyerupai hutan. Di dalam sistem ini, selain terdapat beraneka jenis pohon, juga tanaman perdu, tanaman memanjat (liana), tanaman musiman dan rerumputan dalam jumlah besar.

Ciri utama dari sistem agroforestri kompleks ini adalah kenampakan fisik dan dinamika di dalamnya yang mirip dengan ekosistem hutan alam baik hutan primer maupun hutan sekunder, oleh karena itu sistem ini dapat pula disebut sebagai Agroforestri (Icraf dalam Hairiah et al. 2003).

Peran sistem agroforestry dalam perbaikan dan pelestarian lingkungan, antara lain konservasi sumber daya tanah. Dalam sistem agroforestry terdapat interaksi ekologis dan ekonomis antara komponen-komponen yang berbeda. Agroforestri ditujukan untuk memaksimalkan penggunaan energi matahari, meminimalkan hilangnya unsur hara di dalam sistem, mengoptimalkan efesiensi penggunaan air dan meminimalkan run off serta erosi. Dengan demikian mempertahankan manfaat-manfaat yang dapat diberikan oleh tumbuhan berkayu tahunan (perennial) setara dengan tanaman pertanian konvensional dan juga memaksimalkan keuntungan keseluruhan yang dihasilkan dari lahan sekaligus mengkonservasi dan menjaganya.

Secara umum manfaat dari sistem pengelolaan hutan dengan model agroforestry ini adalah (Michon dan Deforestra, 1995 dalam Michon dan Deforesta, 2000) :

1. Pelestarian Sumberdaya Genetik Tanaman Hutan

Kekayan jenis dalam areal agroforestry sangat tinggi. Agroforestry yang terletak dekat hutan alam terdapat komponen jenis tumbuhan hutan yang beragam. Agroforestry di Krui Lampung dan di Maninjau Sumatera Barat terdapat 300 spesies tumbuhan. Pada agroforestry banyak ditemukan tumbuhan yang membutuhkan sinar matahari lebih banyak, seperti nangka, sukun, pulai, dan bayur.Masyarakat desa di Gn Halimun, Jawa Barat banyak memanfaatkan flora hutan untuk kepentingan bangunan, sumber pakan, obat tradisional, kayu bakar, pakan ternak, dan upacara adat sejumlah 464 jenis (Harada at al., 2001), tetapi jenis yang umum dibudidayakan di ladang dalam tiga desa didominasi oleh 20 jenis pohon utama yang bernilai ekonomis tinggi dan cepat tumbuh (Bismark, 2004). Jenis pohon yang dikembangkan di antaranya adalah Maesopsis eminii, Agathis alba, Swietenia macrophylla, Durio zibethinus, Melia azedarah, Paraserianthes falcataria, dan Peronema canescens.

2. Sumber Buah-buahan

Pulau Jawa, Sumatera, dan Kalimantan yang memiliki keragaman tanaman sekitar 300 jenis di mana 200 jenis termasuk ke dalam tanaman budidaya, dan 50 jenis di antaranya mempunyai nilai ekonomis tinggi. Agroforestry di Sumatera telah melestarikan pohon buah-buahan lebih dari 30 jenis dan di sekitar Bogor lebih 60 jenis. Jenis yang paling dominan adalah mangga, duku, langsat, nangka, manggis, dan jambu-jambuan. Selain itu melestarikan tumbuhan sayuran yang berprotein tinggi seperti melinjo, petai, dan jengkol (Michon dan Mary, 2000). Agroforestry di Sumatera dan Kalimantan merupakan tempat pengembangan pohon buah hutan yang terancam punah. Dengan demikian agroforestry tidak hanya memberikan nilai ekonomi, tetapi juga memberikan nilai pelestarian biodiversitas dan genetik, seperti kelengkeng, rambutan, dan sekitar 20 jenis mangga (Michon dan Deforesta, 1995).

3. Sumber Sayuran dan Obat-obatan

Tanaman sayuran tumbuh pada stratifikasi bawah dari agroforestry di antara tanaman pohon. Konsumsi sayuran masyarakat desa sehari-hari umumnya berasal dari agroforestry. Di Gunung Ciremai telah dibudidayakan sayuran seperti kubis dan wortel. Selain itu tanaman obat-obatan juga menjadi target penanaman di daerah agroforestry. Sebagai contoh, salah satu desa kecamatan di batas Taman Nasional Gunung Ceremai menghasilkan 28 ton jahe dan 15 ton kunir per tahun sebagai bahan rempah dan obat-obatan (Badan Pusat Statistik Kabupaten Kuningan, 2004).

4. Sumber Kayu

Di daerah penyangga Taman Nasional Gunung Halimun, masyarakat menanam sengon dan mahoni, dalam 1 keluarga ada yang memiliki 700 batang pohon sengon (Bismark, 2004). Agroforestry di Sumatera Barat telah membudi-dayakan 40 jenis pohon yang bernilai ekonomis (Michon dan Deforestra, 1995).

5. Habitat Satwaliar

Agroforestry yang sudah tertata dengan keanekaragaman jenis tinggi dan komposisi tajuk yang baik dapat menjadi habitat dari beberapa jenis satwa, seperti primata, beruang, dan mamalia teresterial. Peran satwa tersebut dapat sebagai penyebar biji-bijian yang membantu proses regenerasi dan peningkatan keaneka-ragaman tumbuhan. Dengan demikian, pengembangan hutan rakyat dengan sistem agroforestry memiliki manfaat sebagai rehabilitasi kawasan di daerah penyangga sekitar kawasan taman nasional sekaligus manfaat ekonomis dan ekologis untuk konservasi jenis satwa di luar dan di dalam taman nasional (Bismark, 2002).

6. Konservasi Lahan dan Air

Masalah lingkungan yang umum berkaitan dengan lahan adalah meluasnya lahan kritis dan tingginya tingkat erosi tanah. Di Sulawesi, ladang yang berkembang seluas 10.680 ha dengan topografi 8-35% akan kehilangan unsur hara akibat erosi per tahun (Tjakra Warsa dan hadi Nugroho, 2003). Sistem stratifikasi tajuk yang menyerupai hutan dari segi konservasi tanah dan air akan lebih berdampak pada pengaturan tata air dan hujan tidak langsung ke tanah yang dapat mencegah erosi permukaan. Hal ini terlihat dari komposisi jenis dan pola tanam, jenis pohon di ladang, dan hutan rakyat. Sebagai contoh peran pohon dalam peresapan air seperti Calliandra callothyrsus 56%, Parkia javanica 63,9%, dan Dalbergia latifolia 73,3% (Pudjiharta, 1990).

Manfaat lain dari adanya pohon terhadap lingkungan adalah terjadinya siklus hara yang efisien sehingga akan mendukung produktivitas lahan melalui penyuburan oleh berkembangnya mikroba tanah. Tersedianya konsentrasi bahan organik, C, dan N tanah dari serasah akan berpengaruh pada biomasa mikroba tanah, termasuk mikoriza yang aktif menyerap dan menyediakan unsur mikro P, N, Zn, Cu, dan S kepada tumbuhan inang, sehingga siklus hara pada agroforestry bersifat efisien dan tertutup (Riswan et al., 1995).

C. Penutup

Agroforestry merupakan suatu sistem pertanian buatan yang memiliki banyak manfaat bagi pelestarian lingkungan serta peningkatan kesejahteraan masyarakat. Pelestarian lingkungan ini antara lain pelestarian sumberdaya genetik tanaman hutan, sumber buah-buahan, sumber, sayuran dan obat-obatan, sumber kayu, habitat satwaliar, konservasi lahan dan air

Dengan adanya sistem agroforestry ini diharapkan kandisi lahan di Indonesia dapat diperbaiki dan dapat memberikan hasil pertanian yang berlimpah akibat dari tercukupinya unsur hara dalam tanah serta membaiknya kondisi tanah. Sehingga, sumber daya lahan dapat tetap terjaga hingga selamanya.

DAFTAR PUSTAKA

Aswandi.2008.Rehabilitasi Lahan Kritis Dengan Agroforestry. http://restoreourforest.blogspot.com/2008/07/rehabilitasi-lahan-kritis-dengan.html. diakses pada tanggal 4 Oktober 2008.

Bismark M. dan Reny Sawitri.2006. Pengembangan dan Pengelolaan Daerah Penyangga Kawasan Konservasi. http://www.dephut.go.id/files/Bismark_ reny.pdf. diakses pada tanggal 25 Oktober 2008.

Fauzi,Hamdan.2007.Reklamasi, Agroforestry dan Ekosistem Sehat. http://klipingtambang.blogspot.com/2007/05/tuntutan-warga-dikabulkan.html. diakses pada tanggal 4 Oktober 2008.

Irwanto.2008.Peningkatan Produktivitas Lahan Dengan Sistem Agroforestri. http://www.geocities.com/irwantoshut/agroforestri_irwanto.pdf. diakses pada tanggal 4 Oktober 2008.

Sa’ad,Asmadi.2002. Agroforestry Sebagai Salah Satu Alternatif Pembangunan Pertanian Berkelanjutan Di Indonesia. Asmadi_jambi@yahoo.com. diakses pada tanggal 4 Oktober 2008.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar